Ketika Gelas Kaca Tak Mampu Bersuara

Muhammad Ihsan
1 min readOct 1, 2018

--

Saya sarankan jangan terlalu pintar. Nanti kau tak punya teman, nanti kau susah berkomunikasi. Eh tidak juga ding, orang-orang pinter diluar sana juga banyak yang kalau ia semakin pintar ia jadi paham bagaimana cara berkomunikasi dengan ia yang lebih bodoh, atau punya level kepintaran dibawahnya lah. Paling ndak ya lebih mengayomi lah. Juga jangan terlalu kaku, nanti gampang sakit, gampang emosi. Hidup ini ndak bisa dijalani kalau kaku-kaku amat. Kaku boleh dalam artian tegas, disiplin, dan teguh memegang prinsip. Tapi ya itu harusnya letaknya di dapur, di bagian pengolahan. Sedang kalau di depan itu bagian pengelolaan dari apa yang diolah sebelumnya, yang dimasak kemudian disajikan dengan enak, bukannya malah setoran cabe atau bawang mentah. Syukur-syukur kalau sempat dihias, biar cantik. Sehingga sifatnya naik lagi peringkat jadi indah. Siapapun pasti senang menerimanya. Untuk apa naik tinggi-tinggi kalau cuma mau mengungguli, paham-paham sendiri, ndak bisa paham sama sini yang rendah-rendah ini. Prek, mending saya ngobrol saja sama Tai. Dia lebih paham sama saya, tak maki-maki aja dia nggak peduli. Tapi saya paham benar, sebab cuma sama dia saya bisa seperti itu.

Ya itulah seklumit obrolan sore saya sama gelas kopi yang sedari pagi tinggal ampas. Sereett bos.

--

--